Tentara Perempuan Ini Protes Karena Tak Boleh Mengendarai Tank
Perjuangan perempuan untuk mendapatkan pengakuan kesetaraan gender nampaknya tak hanya berlangsung di negara-negara dunia ketiga, karena hal tersebut juga terjadi di negeri semaju Inggris. Penilaian atas kemampuan kaum hawa yang berada dibawah laki-laki, menjadi isue menarik dan mengundang pro-kontra, bahkan di kalangan perempuan sendiri.
Alex Neil, tentara perempuan Inggris, bertugas di front terdepan pertempuran di Distrik Helmand’s Nahr-e Bughra, Afghanistan. Penampilannya tak dapat dibedakan dengan tentara pria, karena setiap inci 'dandanannya' ditujukan untuk mendukung efektivitas dalam operasi militer yang diikutinya. Ia menyembunyikan rambut dibalik helm, memakai rompi anti peluru, dan menyandang senapan SA80 yang terisi penuh amunisi, siap menembak dengan peluru berhulu ledak tinggi. Singkat kata, pertama ia adalah tentara, keduanya barulah ia memang seorang perempuan.
Tugas Alex adalah manjadi sopir pengantar bantuan untuk pasukan di zona perang yang berbahaya. Ia sudah menyatu bersama anggota pasukan lainnya dan menyerap semua kebiasaan mereka, hingga ia pun terbiasa memakai bahasa dan guyonan kasar para tentara pria. Ia meyakini betul bahwa kemampuannya tidak berbeda dengan personil militer pria di kesatuannya.
Tapi Alex menemui kenyataan pahit bahwa ia tak diizinkan untuk masuk ke Korps Lapis Baja, karena masih terdapat kebijakan militer yang menganggap kemampuan perempuan berada dibawah standar laki-laki. Meski menjadi perhatian banyak pihak, tetapi masih belum ada sinyal bahwa kebijakan militer Inggris tersebut akan dicabut atau diubah.
"Saya mampu menembak Taliban, tapi tak diizinkan mengemudikan tank, karena saya perempuan," protes Neil, seperti diberitakan Daily Mail (9/2/2013).
Ia berpendapat bahwa jika perempuan sudah cukup baik kemampuannya, maka tak ada alasan infanteri Inggris menolak merekrut perempuan. Selama ini setiap hari para tentara perempuan membawa beban yang sama, dengan tugas dan pekerjaan yang serupa dengan tentara pria di medan tempur berbahaya.
Alex sendiri memilih menjadi tentara karena mencari tantangan lain dalam hidupnya. Ia sebelumnya bekerja di kantor selama empat tahun lamanya. Ia memutuskan keluar untuk menemukan 'sesuatu yang lebih menarik'.
Keinginan Alex untuk mendapatkan pengakuan yang setara seperti tentara laki-laki tak selalu disetujui oleh semua pihak, termasuk dari kalangan tentara perempuan sendiri. Seorang tentara perempuan lain, Alisha Henderson, bertugas untuk kantin tentara di markas operasi Shawqat, Distrik Nad-e Ali, dan beranggapan bahwa tugas yang cocok untuk dirinya sebagai tentara perempuan, adalah tak jauh dari urusan dapur.
Alex Neil, tentara perempuan Inggris, bertugas di front terdepan pertempuran di Distrik Helmand’s Nahr-e Bughra, Afghanistan. Penampilannya tak dapat dibedakan dengan tentara pria, karena setiap inci 'dandanannya' ditujukan untuk mendukung efektivitas dalam operasi militer yang diikutinya. Ia menyembunyikan rambut dibalik helm, memakai rompi anti peluru, dan menyandang senapan SA80 yang terisi penuh amunisi, siap menembak dengan peluru berhulu ledak tinggi. Singkat kata, pertama ia adalah tentara, keduanya barulah ia memang seorang perempuan.
Alex Neil, tentara perempuan Inggris, driver kendaraan pasokan militer di garis terdepan Afghanistan. (sumber: Daily Mail) |
Tapi Alex menemui kenyataan pahit bahwa ia tak diizinkan untuk masuk ke Korps Lapis Baja, karena masih terdapat kebijakan militer yang menganggap kemampuan perempuan berada dibawah standar laki-laki. Meski menjadi perhatian banyak pihak, tetapi masih belum ada sinyal bahwa kebijakan militer Inggris tersebut akan dicabut atau diubah.
"Saya mampu menembak Taliban, tapi tak diizinkan mengemudikan tank, karena saya perempuan," protes Neil, seperti diberitakan Daily Mail (9/2/2013).
Ia berpendapat bahwa jika perempuan sudah cukup baik kemampuannya, maka tak ada alasan infanteri Inggris menolak merekrut perempuan. Selama ini setiap hari para tentara perempuan membawa beban yang sama, dengan tugas dan pekerjaan yang serupa dengan tentara pria di medan tempur berbahaya.
Alex sendiri memilih menjadi tentara karena mencari tantangan lain dalam hidupnya. Ia sebelumnya bekerja di kantor selama empat tahun lamanya. Ia memutuskan keluar untuk menemukan 'sesuatu yang lebih menarik'.
Keinginan Alex untuk mendapatkan pengakuan yang setara seperti tentara laki-laki tak selalu disetujui oleh semua pihak, termasuk dari kalangan tentara perempuan sendiri. Seorang tentara perempuan lain, Alisha Henderson, bertugas untuk kantin tentara di markas operasi Shawqat, Distrik Nad-e Ali, dan beranggapan bahwa tugas yang cocok untuk dirinya sebagai tentara perempuan, adalah tak jauh dari urusan dapur.
Post a Comment